Tulisanku

Minggu, 23 Oktober 2011

Jangan !

....................
Elzar mengerjapkan matanya. Berusaha memperoleh kesadaran. Lama ia berusaha menetralkan pandangannya dan tampaklah sebuah ruangan yang begitu rapi. Dimana ini? Itulah pikirnya. Dan Ia mulai mengingat kejadian yang beberapa waktu lalu dialaminya. Ya, iya di keroyok oleh musuhnya saat ia pulang tanpa pengawalan dari kantornya. Entah dimana mobilnya kini.

                “ugh”, Elzar mengeluk dan memgangi kepalanya saat ia berusaha untuk bangun. Ada rasa pening yang nenggedor kepalanya.

                “Tolong jangan bangun, kamu masih lemah”, sebuah suara membuatnya terdiam. Merdu. Elzar pun mendongakan kepalnya dan tampak baginya seorang gadis tinggi sempai yang tersenyum ke arahnya. Ada sesuatu menyelusup dalam hatinya, tapi di tepisnya.

                “Siapa Lo?”, tanya elzar dengan nada sedikit kasar, masih memegangi pelipisnya.

                “Namaku Nirvana, kamu panggil saja Nana. Dan kamu siapa?”, Nana tak balas ber elo gue pada lelaki di depannya.

                “Lo ga usah tau gue siapa. Dimana gue?”, masih dengan nada kasar yang memang sudah khasnya Elzar lanjut bertanya.

                Nana aga dongkol melihat sikap orang yang baru saja di tolongnya. Bukanya berterimakasih namun ia malah mendapatkan suara kasar dari leleki itu. Tapi nana yang memang bersifat lembut tak lantas merah. Ia berusaha tetap melunakan suaranya.

                “kamu ada di rumahku, aku tadi menemukan kamu pingsan di belakng rumahku. Memngnya gimana bisa kamu sampai ke tempat ini?”, jawab Nana penuh rasa sabar.

                “Sekali lagi itu bukan urusan Lo!”, entah kenapa Elzar naik pitam, padahal hatinya menlak bersikap seperti itu.

                “Ya udah, kalo ga mau di jawab ga usah pake bentak-bentak segala dong, biasa aja jawabnya. Aku uga ga tuli, jadi ga harus dengan suara keras kalo kamu ngomong sama aku. Aku Cuma mau nolong kamu, secara manusiawi aku hanya ingin mengamalkan kewajibannu untuk berbuat baik. Kao kamu ga mau aku tolong ya udah ga papa. Dan sekarang aku  Cuma mau kamu makan agar kamu cepat pulih lalu segera meninggalkan rumahku ini, mungkin di luar sana ada keluarga yang nyariin kamu. Jelas?”, nana nyerocos panjang lebar dan meletakan mengkuk berisi bubur hangat di hadapan Elzar.

Cowo itu melongo.                                                                                                                     

Nana ngeloyor pergi.

Elzar tertegun, ia tak menyangka cewe di de[annya akan berkata seperti itu persisi kereta api yang ga berhenti. Dengan sedikit senyum bercampur geli, Elzar mengambil mangkuk di depannya dengan tangan kiri. Ia tahu gadis itu orang baik, namun entah kenapa ia berikap seperti tadi padahal dihadapan wanita lain ia selalu bersikap lembut layaknya casanova seperti julukan yang dimilikinya.

“panas”, elzar bergumam dan kembali meletakan mangkuk itu di atas meja. Tanpa ia sadari Nana menjulurkan lidah tanda puas melihat Elzar kepanasan.

“ Makanya jangan galak-galak, udah tau lagi sakin masih aja kasar”, Nana tersungut-sungaut dan megambil mangkuk bubur itu lalu mulai menyuapi Elzar. Entah kenapa kali ini Elzar tak berkata apa –apa.  Ia hanya diam dan mulai makan.
...............................................

Contoh Penelitian Pragmatik

PILKADES DALAM SKEMATA BUDAYA(1)
Oleh:
Iis Yasinta Apriani(2)
(0902515)

Abstrak
Pilkades atau peilihan kepala desa adalah salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memilih pemimpin di desa. Kegiatan ini selain banyak menimbulkan persaingan antarcalon, juga menimbulkan persaingan antara pendukung masing-masing. Di desa Batusari yaitu salah satu desa di Kabupaten Subang- Jawa Barat, kebiasaannya sungguh menarik untuk diamati karena adat-istiadatnya yang sangat lain dari pada yang lain. Kebiasaannya adalah setelah penghitungan suara pada waktu Pilkades, maka di benak masyarakat langsung tersirat nama kampung tempat kepala desa yang baru saja terpilih itu tinggal. Sehingga hanya dengan menyebutkan nama kampung asal kepala desa terpilih, maka masyarakat akan tahu apa yang akan mereka lakukan. Melalui skemata budaya maka kebiasaan desa Xbatusari ini akan dikupas secara jelas agar kita bisa faham mana itu budaya yang baik dan buruk.

Pilkades or selectiont of leader village is one of agenda wich going or planning to do some of selection (comb out) by society or community in one village. Beside can make one of rivalry inter-candidates, this activity also make one of rivalry inter-supporter. Batusari village is one of village in Subang regency of West Java, this Batusari village’s habitual or culture is very unique and interesting for perusal and observ because this tradition very different by other. The tradition is every after extrapolation of voice (count of voice) when Pilkades, then in every people’s mind immediately knotted name of quarter or residential area of new leader, so every person will knows what can must they to do. By means of Skemata budaya this habit and traditionw will analyze by complete and clear in order to know and understand where is a good tradition an where is a bad tradition.
Kata kunci: Skemata budaya, Pilkades, Kontroversi.


Pendahuluan
Dalam penulisan ini, saya ingin menulis hasil analisis mengenai sebuah budaya yang ada di sekitar masyarakat sebuah desa yaitu desa Batusari yang merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Dawuan kabupaten Subang- Jawa Barat pada saat Pilkades. Untuk mengkaji dan menganalisis budaya daerah ini, saya menggunakan skemata budaya yaitu salah satu pendekatan dalam ilmu pragmatik mengenai budaya.
Mengapa saya ingin menganalisis ini? Karena kebiasaaan desa ini ada yang unik yaitu pada selesai penghitungan suara saat Pilkades, maka masyarakat akan mendatangi serta menyerbu kampung dimana kepala desa yang terpilih itu tinggal untuk mengambil beberapa barang. Biasanya tanpa dibuat undang-undang pun, maka mereka sepakat untuk tidak membuat larangan dalam hal ini. Dan semua kerugian yang diderita oleh masyarakat tersebut akan ditanggung oleh kepala desa yang baru.
Tujuan dari penulisan ini adalah agar kita selaku bangsa Indonesia bias tahu bahwa ada sebuah kebiasaan seperti itu di suatu daerah. Selain itu, agar kita selaku bagian dari masyarakat bias terinspirasi untuk mengkaji beberapa budaya yang ada dimasyarakat yang sangat beragam dan bias member arahan pada masyarakat mengenai budaya seperti mana yang merupakan budaya yang baik atau yang buruk, mana yang harus dipertahankan dan mana yang bisa dihilangkan demi terciptanya kerukunan antarmasyarakat desa.
Beberapa rumusan masalah yang akan menjadi acuan sebagai bahan analisis di antarany adalah berikut ini.
- Mengapa masyarakat di desa Batusari selalu menyerbu dan mengambil beberapa barang dari masyarakat yang tinggal di kampung tempat kades baru terpilih tinggal usai penghitungan suara saat Pilkades? Dan apa maksud dari tindakan yang dilakukan masyarakat desa Batusari tersebut?
- Bagaimana proses juga tanda saat masyarakat akan melakukan aksinya?
- Apa saja yang biasanya menjadi bahan incaran masyarakat?
- Apa kaitan antara skemata budaya dan budaya daerah ini? Serta bagaimana pendapat masyarakat terkait budaya ini?


Metodologi
Cara pengumpulan data yang telah dilakukan yaitu dengan melakukan observasi ke daerah yang bersangkutan dan melakukan wawancara. Wawancara yang saya lakukan difokuskan pada masyarakat di satu kampung Cipetir saja agar lebih mudah dalam menyimpulkan pemikiran menurut pandangan masyarakat mengenai adat yang saya teliti.
Langkah-langkah yang dilakukan pada saat pengumpulan data, pertama adalah dengan melakukan wawancara di kampung Cipetir, salah satu kampung di desa ini. wawancara ini dilakukan pada tanggal 26 maret 2011, yaitu dengan cara mendatangi beberapa rumah dan ternyata memiliki latar belakang sosial yang berbeda mulai dari ibu rumah tangga sampai mahasiswa yang ada di daerah tersebut.
Langkah kedua yaitu observasi lapangan pada tanggal 27 maret 2011. Observasi ini dilakukan mulai dari melihat seberapa banyak kampong yang ada di daerah tersebut, lingkungan secara geografisnya, juga melihat-lihat beberapa tempat juga hal terkait menyangkut akibat dari aksi budaya masyarakat pada saat Pilkades bulan November 2010 lalu seperti mendatangi kola ikan, kandang ayam dari beberapa masyarakat terkait, sawah, juga mendatangi rumah pak Lurah.


Data
Klasifikasi Masalah Identifikasi Masalah
- Kebiasaan saat pilkades di desa Batusari

-Kata “Cipetir!” yang merupakan salah satu nama kampong dari desa Batusari -Merupakan budaya daerah yang unik dan lain dari pada kebiasaan di desa yang lain. Tidak ada undang-undang atau aturan daerah mengenai kebiasaan ini.
-Nama kampong yang disebutkan saat usai penghitungan suara ketika pilkades seolah menjadi tanda bahwa yang akan menjadi sasaran untuk aksi tersebut. Dengan mengucapkan atau meneriakan nama kampong tempat tinggal kades terpilih, seolah menjadi komando bahwa mereka selanjutnya akan menuju kampong tersebut.



Kebiasaan atau budaya yang terjadi dalam masyarakat sungguh sangat beragam. Sebut saja masyarakat Desa Batusari memiliki kebiasaan yang sangat lain dari yang lain pada saat Pilkades. Masyarakat desa ini akan dengan senang hati menyerbu dan mengambil barang- barang yang berupa benda hidup atau pun tak hidup dari kampong tempat tinggal kepala desa yang baru saja naik jabatan. Menurut mereka kebiasaan ini sudah membudaya karena sudah ada sejak dulu dan dilakukan terus-menerus secara turun temurun sampai saat ini. “ tos aya ti baheula sa acan enek lahir”, begitu pendapat seorang nenek berusia 68 tahun dalam bahasa daerah ketika ditanya kapan budaya ini ulai terbentuk yang artinya “ sudah ada dari dulu sebelum nenek lahir”.
Usai penghitungan suara selesai, hanya dengan menyebutkan nama kampung tempat tinggal kepala desa terpilih, maka masyarakan akan langsung tahu apa yang akan selanjutnya terjadi. Satu kata seperti “Cipetir!”, akan menjadi penanda dari acara yang akan dilakukan selanjutnya yaitu menyerbu kampong Cipetir dan mengambil beberapa benda yang ada di kampong tersebut.
Sejauh ini menurut hasil dari wawancara yang telah dilakukan, beberapa barang yang biasanya diambil oleh masyarakat adalah ayam, ikan di kolam (empang), tanaman hias, juga buberapa sayuran yang ada di kebun. Namun pada kejadian-kejadian sebelumnya pernah ada yang merasa bila beberapa baju di jemuran mereka pun ikut raib. Bahkan malang tak dapat dihindari jika salah satu warga pernah ada yang akan memanen rambutan yang merupakan buah yang banyak di daerah tersebut harus gagal panen karena masyarakat memanen pohon tersebut lebih dulu dari pada si pemilik.
Tidak ada larangan dalam aksi ini baik dari sesepuh kampung, panitia Pilkades, maupun masyarakat karena menurut mereka ini adalah salah satu hiburan atau tanda suka cita. Seperti yang dikatakan oleh makasiswa jurusan teknik computer yang telah diwawancara “sejauh yang saya tahu, tidak ada larangan adalam aksi ini karena masyarakat sudah faham dan seolah menyepakati sekalipun tidak ada undang-undang tertulis”. Namun seorang wiraswasta di salah satu kampung ada yang keberatan karena menurut mereka ini tindakan yang tidak bias dibenarkan bahkan merugikan namun laranga itu hanya bias di pendam dalam hati karena ditakutkan akan menimbulkan masalah karena saat Pilkades suasananya akan panas oleh persaingan.
Tindakan yang dilakukan setelah aksi ini adalah oleh Kades yang baru. Biasanya masyarakat yang meras jika beberapa harta benda mereka hilang atau diambil masa akan melapor ke rumah atau ke kantor kepala desa dan akan menerima ganti rugi yang berupa uang. Namun pada saat pilkades terakhir yatu tanggal 22 November 2010, tidak terlalu banyak terjadi kerusakan atau harta benda yang diambil masa karena kades terpilih sudah menyediakan kolam ikan untuk masa. “Saya dan suami sengaja menyediakan kolam ikan agar masyarakat tidak terlalu banyak mengalmi kerugian”, begitu yang dikatakan istri kadses saat diwawancara di rumahnya. “ Tapi hal ini harus masuk akal dan tidak berbohong karena pernah ada kejadian ada yang dating melapor tapi setelah diselidiki hanya menggunakan kesempatan dan mengaku-ngaku saja”, lanjut beliau.
Menurut data yang saya peroleh, pilkades terakhir dilaksanakan pada tanggal 22 November 2010 dengan calon terpilih dan menjadi pemenang berasal dari kampung Cipetir. Biasanya masyarakat yang yang melakuakan aksi pengambilan barang tersebut bukan hanya dari desa yang bersangkutan namun juga dari desa lain yang turut menonton dan memeriahkan pilkades tersebut.

Landasan Teori
Setiap orang pasti mengalami pengalaman yang mengejutkan apabila sebagian dari komponen peristiwa yang di asumsikan itu hilang dan tak terduga. Hamper tidak dapat dihindarkan bahwa struktur pengetahuan latar belakang kita, skemata kita mengartikan dunia akan ditentukan secara budaya. Kita selaku manusia akan selalu mengembangkan skemata budaya kita dalam konteks pengalaman dasar kita. Studi perbedaan-perbedaan harapan berdasarkan skemata budaya merupakan bagian dari ruang lingkup yang luas dan umumnya dikenal sebagai pragmatik lintas budaya.
Jika kita mengaitkan mekanisme pengambilan giliran, kita tidak mencari peran diam sama sekali dalam praktik percakapan yang wajar dalam beberapa budaya. Kita juga tidak memasukan pembahasan ‘hak bicara’ yang dijelaskan secara sosial yang dikenal dalam banyak budaya sebagai suatu dasar struktural tentang bagaimana interaksi itu berlangsung.
Kebiasaan atau adat budaya di desa Batusari terseut bias dikategorikan sebagai Pragmatik lintas budaya karena dalam pelaksanaannya banyaknya kata yang diucapkan tidak sebanyak apa yang mereka maksudkan.

Analisis
Menurut masyarakat yang turut serta saat pilkades baik yang berasal dari desa tersebut maupun tidak, adat tersebut merupakan upaya memeriahkan acara yang diselenggarakan panitia pilkades. Kebudayaan yang turun temurun ini sudah terjadi sejak lama. Bila kita melihat dari berbagai sisi, kebiasaan ini memang sangat bagus untuk upaya memeriahkan, namun masyarakat seolah mengesampingkan kerukunan karena bagaimanapun sekalipun tidak terucap, pasti ada rasa tidak rela dalam hati masing-masing saat harta benda mereka yang menjadi sasaran. Namun sesuai teori skemata budaya bahwa kejadian yang melatar belakangi kehidupan kita akan menjadi bahan penambahan skemata kita terhadap budaya.
Proses terjadinya aksi ini awalnya dengan ditandai dengan menyebutkan nama kampung tempat tinggal kades tang terpilih. Dalam skemata budaya dijelaskan bahwa kita tidak mencari peran dalam praktik percakapan yang wajar di masyarakat. Jadi siapapun bias berperan dalam meneriakan nama kampung ini. Juga kita tidak menunggu giliran yang memerankan budaya ini. Bila kita analisis secara pragmatik lintas budaya, kata “cipetir!” misalnya menjadi tanda dan dalam benak masyarakat kata tersebut seolah tergambar dan terbentuk menjadi kata “mari ita serbu kampong cipetir!” atau bias juga “kades yang terpilih dari cipetir, ayo kita serbu dan ambil yang ada di dalamnya!”. Itu hanya dua contoh dari gambaran yang terbentuk dalam benak masyarakat.
Kalangan masyarakat biasanya mengincar beberapa benda yaitu berupa benda hidup maupun tak hidup yang ada di kampung tepat tinggal kades baru miasalnya berupa sayuran, buah-buahan, ternak, juga tanaman hias. Kebiasaan ini bila terjadi pada hari-hari biasa tentu akan menimbulkan kontroversi karena bias saja yang mengambil ini tanpa ijin dari si pemlik. Dalam pragmatik lintas budaya kita tidak menekankan atau menegaskan siapa yang berhak bicara karena sekalipun secara lisan tak terucap, pasti benak sentiasa berkata-kata atau menyiratkan makna. Seperti kebiasaan ini, pemilik banyak yang tidak berkata-kata saat barang-barang mereka ada yang diambil, namun pasti dalam hati mereka ada maksud tak ingin diambil. Sekali lagi kita tidak mencari peran diam, Karen jelas tak ada yang diam dalam hal ini. Pemilik pasti memiliki bahasa secara tersirat baik laranga atau pun ketidak relaan dan pengambil pun memiliki bahasa tersirat seperti bahasa tubuh yang menyiratkan bahwa ia menginginkan barang tersebut.
Sekali lagi kita akan melakukan analisis dan mengaitkan antara hubungan skemata budaya dengan budaya yang ada di daerah ini. Budaya ini berkaitan bahkan bias digolongkan sebagai bagian dari skemata budaya karena ada perbedaan yang khas dari daerah ini dan dilakukan secara berulang-ulang sehingga kebiasaan ini menjadi membudaya. Cara komunikasi masyarakat saat aksi ini berlangsung memang hanya dengan satu kata, namun mereka saling memahami. Bila sedikit menyinggung prinsip kerjasama dalam ilmu pragmatic, tentu hal ini membentuk kerjasama antara pemikiran masyarakat yang satu dengan yang lain sehingga tanpa ungkapan yang berupa ajakan sepert “ayo” atau “mari” pun masyarakat sudah mengerti bahwa mereka akan menyerbu kampong tersebut.
Pendapat masyarakat tentu ada yang menerima ataupun menolak karena setiap kepala pasti memiliki pandangan masing-masing. Di antara mereka ada yang berpendapat setuju atau pun tidak. Seperti lima orang yang telah di wawancara empat di antaranya menyatakan setuju dengan alasa agar acara meriah, namun satu diaantara lima orang tersebut menyatakan tidak setuju karena berpendapat bahwa hal itu bias seperti pencurian karena dalai slam tidak ada adat tersebut.
Akan tetapi, dalam skemata budaya kita tidak memasukan pembahasan ‘hak bicara’ yang merupakan suatu dasar structural tentang interaksi sosial. Dengan kata lain dalam skemata budaya, siapa pun berhak berbicara. Jadi bukan hanya masyarakan yang berhak berbicara dan menggunakan bahasa namun juga agama mau pu etika berhak berbicara dengan bahasa masing-masing. Setiap lapisan masyarakat tentu punya interpretasi atau persepsi yang berbeda. Bila kita mendengar agama berbicara tentu itu dilarang karena seperti pencurian atau pengambilan paksa. Juga bila ada yang berbicara dilihat dari segi etika, ini pun menyalahi etika dalam member dan menerima yatu tidak adanya ucapan ijab dan qabul. Namun ketika ada yang berbicara dari segi budaya, hal ini akan lain lagi. Budaya yang selaras yaitu saat tidak ada kontroversi ketika budaya tersebut berlangsung dengan kata lain budaya tersebut diterima dngen senang hati oleh masyarakat dan direspon dengan baik.
Pada kenyataannya memang banyak yang setuju dengan adanya budaya ini. Tapi masih ada segelintir orang yang merasa keberatan. Jadi, apakah budaya ini baik atau tidak? Menurut saya hal ini bias dikembalikan pada daerah dan masing-masing individu. Selama mereka nyaman dan menerima, budaya ini bias dikatakan baik karena sekalipun ada yang mengalami kerugian, masih bias diganti oleh pihak Kades dan ada yang bertanggung jawab.
Skemata budaya yang digunakan dalam menganalisis budaya daerah ini bisa dikatakan sangat pas dan tepat kerena kita tidak mencari siapa yang diam, atau siapa yang harus berbicara. Skemata budaya akan menganalisis berbagai perbedaan harapan yang ada dalam budaya masyarakat. Dan tentu kita telah kaji bahwa dalam budaya sekalipun ada perbedaan jika masih bias diterima setiap golongannya masih bisa tergolong budaya yang baik. Jadi skemata budaya bisa menjawab semua masalah mengenai budaya desa X tersebut.

Simpulan
Budaya masyarakat sangat beragam, namun skemata budaya mampu menganalisis dan menjadi landasan teori yang pas untuk menentukan apakah budaya tersebut baik atau buruk bagi masyarakat. Kebiasaan di desa X memang terkesan brutal karena tak ada undang-undang atau pun larangan yang jelas. Namun jiaka masyarakat nyaman dan sepakat, maka budaya itu tidak bisa seenaknya saja di hapuskan, apa lagi budaya itu adalah kebiasaan yang sudah mendarah daging jadi akan sukar dihilangkan. Baik atau pun buruk suatu budaya bisa dikomunikasihan dan dirasakan oleh individu atau pelaku budaya tersebut.


Pustaka Acuan
- Efendi, Ridwan dan Elly Maliah. 2007. Panduan Kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial, Budaya dan Teknologi. CV Maulana Media Grafika: Bandung.
- http://naila-story.blogspot.com/2010/01/ilmu-sosial-dasar-pertemuan-kedua.html
- http://rastapala10720.blogspot.com/2010/10/jurnal-masyarakat-budaya.html
- Yule, George. 2006. Pragmatik. Pustaka pelajar: Yogyakarta





















(1) Merupakan kajian dan analisis sebagai tugas dalam mata kuliah Pragmatik
(2) Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2009