Tulisanku

Minggu, 27 November 2011

Cerpen

Bapakku Lebih Cerdas dari Papi dan Dady
Cerpen oleh: Iis Yasinta A

“ Neng gak mau pak, Neng gak pengen ke pesantren!”, aku marah dan hampir menangis. Tapi bapak yang ada di depanku hanya diam. Adikku yang saat itu baru berusia tiga tahun asik terlelap dalam gendongan ibu. Dia tak akan mengerti jika kakak perempuannya sedang marah pada bapak.
“ Ini semua buat kebaikan Neng”, hanya itu yang keluar dari mulut bapak.
“Ah, tapi Neng mau masuk SMP yang populer itu pak, bapak mau buang Neng ke pesantren? Katanya pesantren Cuma buat nak-anak nakal”, nada suaraku masih tinggi.
Namun lagi-lagi bapak hanya duduk diam, menonton TV seolah-olah tak menghiraukanku yang sedang protes. Bagaimana tidak, aku yang sejak naik kelas 6 SD ingin masuk SMP populer di kotaku tiba-tiba saja harus masuk pesantren, sungguh keterlaluan. Itu pikirku.
“Sudah, ini buat kebaikan Neng juga. Bapak sama ibu sayang sama Neng, makanya mau masukin neng ke pesantren”, ibu kini angkat bicara. Tak ada yang akan memihakku. Bapak dan ibu itu sudah setali tiga uang, ibarat bumi dan bulan, selalu saja bersama dan sepemikiran.
Akhirnya walau dengan penuh tangis, aku pun menurut untuk masuk pesantren. Aku di antar dan ditinggalkan di sana tanpa ada satu orangpun yang aku kenal, tempat baru, orang-orang baru, dan tentunya akan menjadi kebiasaan baru. Pupus sudah harapanku menggunakan seragam kebanggan SMP populer itu.
“Neng baik-baik disini, bapak bakal nengok 2 minggu sekali”, hanya itu yang bapak ucapkan sesaat sebelum bapak dan ibu berlalu dari pesantren. Namun sesuatu luput dari penglihatanku, ada setetes air mana mengambang di pelupuk mata bapak.
Bayangan beberapa tahun silam itu jelas tergambar dalam ingatannku. Akan sosok bapak. Bapakku. Yang kini tertimbun di balik pusara di hadapannku.
“Bapak, Neng sayang bapak”, ujarku. Air mataku hapir saja mengalir seperti saat bapak meningalkanku di pesantren belasan tahun silam itu.
***
Namakku Qotrun Nada. Kata bapak artinya itu setetes embun. Namun orang-orang lebih sering memanggilku Neng, panggilan yang biasanya digunakan untuk memanggil anak perempuan dalam adat orang-orang sunda. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Bapakku hanyalah petani lulusan SD begitupun dengan ibuku. Keduanya sehari-hrai selalu berkutat dengan ladang dan sawah. Kantor terbuka, begitu biasanya bapak bergurau.
Aku dan keluargaku tinggal di sebuah daerah di pinggiran kota yang masih hijau oleh sawah dan ladang yang membentang. Perkebunan karet pun memanjang dan berbaris seperti serombongan batalyon yang selalu siaga di pinggir jalan raya.
“Neng, main ke rumah Eca yuk, Eca punya barbie baru dibeliin sama papi dari jakarta”, Eca teman kecilku mengajakku kerumahnya yang tepat berada di samping kanan rumahku. Papi Tomo begitu aku menyebutnya adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Terbukti dari rumah Eca yang memiliki dua lantai dan 2 mobil Fortuner selalu membuat tetangga berdecak kagum saat melewati depan rumah itu. Terlebih Eca adalah anak tunggal, tentu itu membuat papi Tomo sangat memanjakannya. Apa pun yang dininginkan Eca selalu terpenuhi, terkadang aku sangat ingin menjadi Eca.
“ Ayo aja, tapi neng gak bisa lama-lama, nanti jam 3 sore disuruh ngaji di mesjid sama bapak”, aku menjelaskan.
“iya gak apa-apa neng, Eca Cuma mau nunjukin Barbie baru Eca sama kamu”, ujar Eca padakku.
Alhasil, aku pun asik melihat koleksi boneka-boneka dan barbie Eca yang berderet di kamarnya. Kamar yang sangat luas, begitu pikirku. Bila aku bandingkan kamar itu hampir sama dengan separuh luas rumahku.
“Neng punya barbie gak?”, tanyanya
“Ga punya Ca, neng gak pernah punya barbie”, aku menunduk saat menjawab, sedih rasanya hatiku saat itu.
“ Memangnya bapak neng gak pernah beliin barbie? Ko gak kayak papinya Eca ya, papi Eca suka baik, beliin Eca oleh-oleh terus kalo pergi”, Eca menceracau membanggakan ayahnya.
Dari luar kamar papi Tomo mendekati kami yang sedang asik bermain. Dia membawa sepiring roti yang diisi sayur dan entah apa lagi, dulu aku menyebutnya roti tangkup, padahal itu adalah shenwich.
“Nih, papi bawain kalian makanan, ayo dimakan ya”, papi Tomo menyilahkan.
Sampai jam 5 sore aku belum juga pulang ke rumah, aku lupa pada niatku mengaji dan tentu saja sesampainya di rumah bapakku sudah berdiri di depan pintu, menyambutku dengan muka masam. Aku tak perlu banyak berpikir, aku tau bapak sedang marah.
“ Dari mana saja? Kau mau ini jam berapa neng?”, tanya bapak.
‘jam lima pak”, jawabku takut-takut
“Kenapa kamu gak ngaji? Bapak kan bilang kamu harus tau waktu, main itu wajar, tapi kamu harus tau batas, belajar menghargai waktu dari Sekarang!”, itu yang bapak katakan sambil berlalu dari hadapanku. Saat itu pikirankku campur aduk, aku ingin protes tapi hanya mampu ku lakukan dalam hati. Itu kejadian saat aku masih kelas tiga SD.
***
“ Memangnya Audy gak bakal sekolah ya dady?”, aku bertanya pada dady Temi. Tetangga yang rumahnya tepat di depan rumahku. Rumahnya mewah dan tak kalah hebat dari rumah Eca. Dady Temi adalah pria asli Inggris yang menikah dengan tante Indah yang asli sunda. Alhasil, jadilah Audy gadis blasteran inggris dan sunda.
“Gak neng, dady Temi gak perlu membebani Audy dengan sekolah. Audy sudah dady jodohkan dengan anak relasi dady yang sangat kaya dan dady yakin kekayaan kami jika digabungkan tak akan habis sampai tujuh turunan. Jadi Audy tak perlu bersusah payah sekolah. Toh dia akhirnya kan menjadi nyonya konglomerat. Jadi tidak perlulah ijazah seperti itu”, ujarnya menjelaskan padakku saat aku liburan dari pesantrenku. Beruntung sekali Audy. Lagi-lagi aku iri pada teman-temanku.
Saat itu kebetulan deddy Temi sedang mengobrol dengan bapak, entah tentang apa. Makanya aku bertanya saking penasaran karena selama aku di rumah aku sering melihat Audy hanya bersantai membaca komik dan bermain dengan kucingnya di halaman rumahnya. Ku kira sekolahnya libur, tapi ternyata Audy itu tidak melanjutkan setelah kami lulus SD.
Setelah dady temmi pulang, aku duduk di hadapan bapak sambil memakan keripik dalam toples yang tadi disuguhkan ibu pada daddy temmi.
“Pak, enak ya Eca sama Audy, Eca itu suka diturutin apa aja yang dia mau, kalo Audy ga perlu sibuk-sibuk sekolah karena dady Temi-nya udah kaya, dia pasti hidup enak terus sampai tua”, ujarku pada bapak
“Nasib seseorang itu sudah ada yang mengatur neng, bapak mau neng sekolah, itu buat kebaikan neng”, ujar bapak.
Kebaikan,kebaikan, kebaikan. Selalu itu yang bapak katakan. Apa kebaiknanya? aku harus selalu jauh dari keluarga dan hanya bisa pulang kerumah setiap empat bulan sekali karena bapak memasukanku ke pesantren. Mungkin bapak gak merasakan apa yang aku rasakan karena harus jauh dari orangtua. Itu proteskku dalam hati saat itu.
“kenapa sih bapa gak jadi orang kaya?”, ujarku sambil masuk ke dalam rumah. Bapak hanya diam seperti biasa.

***
Semua aktifitasku di pesantren berjalan seperti biasanya, aku pulang setiap empat bulan sekali hingga 6 tahun kemudian aku lulus dari Madrasah Aliyah. Hingga suatu saat, bapak murka begitu mendapatiku pergi ke kota sendirian, ia marah dan langsung menceramahiku saat aku pulang.
“Kamu gak menghargai bapak? Bapak itu kamu anggap apa hah!?”, nada bicara bapak sangat tinggi saat itu. “ bapak itu masukin kamu ke pesantren, suruh kamusekolah yang bener, biar kamu jadi orang pinter, tau tata krama, tau aturan, tapi apa neng? Waktu 6 tahun belum juga bisa mendewasakan kamu. Bapak ngerasa gak dihargai sama kamu. Apa susahnya kamu ijin sama bapak buat pergi ke kota, kamu itu bisa mikir gak? Kamu tau kan cara menghormati orang tua? harus gimana lagi bapak didik kamu?”, kemarahan bapa semakin menjadi.
Aku menangis.
“Bapak itu kenapa sih? setiap yang neng lakuin itu selalu salah, tadi neng pergi ke kota itu udah ijin sama ibu. Neng pergi karena disuruh beli buku agama sama pak ustadz. Belum juga neng jelasin apa-apa, bapak udah marah-marah. Neng harus gimana pak? neng selalu nurutin apa yang bapak mau, neng masuk pesantren sekalipun gak mau. semua buat apa? Buat bapak! Neng selalu berusaha rengking satu dari kelas satu SD sampai kelas 6, semua itu demi bapak! Neng dapat juara terus di pesatren, aktif organisasi, jadi teladan, semua itu demi membuat bapak bangga, tapi kenapa sih hanya kesalahan neng yang bapak lihat? gak ada satu kata aja ucapan bapak yang menandakan kalau bapak bangga. Padahal satu kata itu sangat neng harapkan sebagai motivasi neng. Gimana lagi neng harus buat bapak sedikit aja anggap neng?!”, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melawan ucapan bapak. Dan hal inilah yang aku sesalkan hingga aku dewasa karena saat itulah aku membuat air mata mengambang di pelupuk mata bapak.
Bapak terdiam dan kemudian merangkulku dengan erat. “neng, bapak tuh sayang sama neng”, kalimat dan nada bicara bapak mulai melunak. “ bapak mendidik neng harus ini itu, semua itu buat kebaikan neng”, lanjut bapak lagi.
Fyuh—
lagi-lagi kata kebaikan, Ucap hatiku. aku diam tanpa membalas pelukan bapak.
‘neng, bapak menuntut neng selalu sekolah , pesantren, karena bapak ingin neng punya bekal pendidikan dan bekal agama yang cukup buat hidup neng, bapak memang hanya petani neng, tapi bapak juga punya cita-cita, bapa mau neng sukses. Bapak kerja banting tulang setiap hari karena ingin membuat anak sukses, bapak gak mau kelak neng harus kerja kaya bapak. Kamu perempuan neng, mana mungkin kuat bating tulang mengeluarkan tenaga setiap hari di kebun. Bapak gak mau anak bapak sengsara. kamu sekarang sudah mau kuliah, kamu sudah bisa berpikir buat hidup kamu. Percayalah neng, gak ada orang tua yang tega menyiksa anaknya”, bapak menjelaska panjang lebar. Air mataku semakin mengalir. “neng, bapak bangga sama neng. Kamu itu anak kebanggaan bapak. Anak yang selalu membuat bapak merasa beruntung memiliki anak seperti kamu”.
blas!! Kata-kata itu menancap dalam hatiku, menggedor kesadarnku. Aku pun membalas pelukan bapak, erat.
***
Prof. Qotrun nada, M. Pd. Itulah namaku saat ini. Semua berkat bapak, karena usaha dan jeri payah bapak menyekolahkanku dan menyuruhku serta membiayaiku untuk terus sekolah dan sekolah hinga tak pedul sekeras apa ia bekerja. Didikan bapak yang dulu selalu protes dalam hati, kini menjadi sebaliknya. Selalu dalam doa kuucapkan terimakasih sebesar-besarnya pada Allah karena memiliki bapak seprtinya. Terbukti ucapan bapak, bahwa setiap orang hidup dengan suratan takdir masing-masing. Siapa yang tahu bahwa tetangga yang dulu aku merasa iri terhadapnya, Dexa yang sangat dimanja oleh papi Tomo harus meringkuk di rehabilitasi karena menjadi seorang jungkis. Kekayaan papi tomo berupa rumah dan mobil ternyata harus habis karena tanpa sepengetahuan papi tomo, semua itu sudah digadaikan Dexa pada pengedar. Papi Tomo terpuruk dan pindah dari daerah kami karena menahan malu. Tak lama setelah itu, dady Temi harus ikut terpuruk karena ditipu oleh relasi bisnisnya yang sekaligus ayah dari pria yang menjadi tunangan Audy. Alhasil, dady Temi kini jatuh miskin terlebih karena Audy tidak sekolah hingga tak memiliki ijazah SMP ataupun SMA yang dibutuhkan untuk melamar kerja. Kejadian itu membuat dady Temi depresi dan memutuskan diri untuk mengakhiri hidupnya di rel kereta dekat daerah kami.
Kini aku bersyukur atas semua anugrah yang aku miliki, aku tak lagi ingin seperti Dexa atau Audy, andai mereka sekolah yang benar dan keluarga mereka memiliki dasar agama yang baik, setidaknya hal buruk yang menimpa mereka dapat disikapi dengan baik. Tak perlu pindah rumah atau bunuhh diri.

Dalam Lindungan Allah
Anakku sayang
Di tempat.


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Neng, bapak bangga sama neng. Maafkan bapak karena dari kecil harus selalu menuntut neng untuk mengikuti aturan bapak. Seperti yang selalu bapa bilang, itu semua demi kebaikan neng. Bapak memang hanya petani, tapi bapak ingin neng gak bernasib sama seperti bapak, bapak mau anak bapak seribu kali lebih sukses dari bapak.
Neng, anak kebanggan bapak. Bapak sangat berterimakaksih karena neng selalu jadi anak yang baik. Menurut meski bapak tau kadang terpaksa karena berlawanan sama apa yang kamu inginkan. Bapak tau, neng itu anak yang berbakti pada orang tua. Bapak berterimakasih karena neng selalu sabar mengkuti perintah dan didikan bapak.
Maafkan bapak neng, bapak melakukan semua itu bukan karena bapak tak punya hati dan bukan karen a bapak tak tau apa yang kamu mau, tapi karena bapak hanya petani. Bapak gak bisa mewariska harta yang berlimpah pada neng. Sebab itulah bapak ingin mewariskan ilmu yang cukup untuk bekal hidup neng, yang insyaallah bisa neng manfaatkan untuk masa depan neng kelak agar lebih baik”.
Yang perlu neng tau, kapak bangga sama neng.
Wassalamualaikum warohmatullah.

Tertanda,
Bapak.

Surat dari bapak ini ku peluk erat dalam dadaku. Bapakku, Bapak yang sangat aku banggakan dan bapak yang sangat aku idolakan setelah kini aku mengerti apa yang menjadi cita-cita dan maksud dari semua rencana bapak. Demi kebaikan. Kata-kata itu kini menjadi kata keramat dalam hidupku.
“Terimakasih pak, neng bangga menjadi anak bapak”, kata-kata itu hanya mampu kuucapkan di depan pusara bapak. Karena bapakku, bapakku yang selalu berpikir kedepan, berpikir masa depan, bapakku yang sangat cerdas lebih dari papi Tomo dan dady Temi yang lulusan unviersitas, bapakku yang hanya petani, dan bapakku yang hanya lulusan SD namun sanggup mengantarkan anaknya menjadi seorang profesor. Itulah bapakku.
“Neng sayang bapak”.
***

Bandung, 27 November 2011
Untuk bapakku, yang sangat aku banggakan.