NILAI MANUSIA DI MATA TUHANNYA DALAM PUISI “TAPI”(1)
Oleh: Iis Yasinta Apriani (2)
Abstrak : Puisi adalah suatu bentuk ekspresi dari pengalaman imajinatif yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan kesan artistic atau estetik. Pengkajian puisi “Tapi” karya Sutardji Calzoum bachri ini bertujuan untuk mempermudah kita untuk menangkap makna yang terkandung di dalam puisi. Puisi “Tapi” menyiratkan penolakan yang kental akan sebuah kesungguhan dan kerendahan manusia di mata Tuhan. Bahwa manusia sampai kapan pun tak akan pernah bisa menyamai Tuhannya walau pun dengan menyerahkan jiwa dan raganya.
Kata kunci : Semiotik, Tuhan, isotopi, pakar, dan timbal balik.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan medium utama dari karya sastra. Bahasa sebagai ujaran yang dihasilkan dari alat ucap manusia mengandung suatu kekuatan tanda di dalamnya. Kekuatan tanda itu muncul dari hubungan tanda dengan tanda (sintaksis), hubungan tanda dengan maknanya (semantik), dan hubungan tanda dengan pengguna (pragmatik). Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupkan sistem semiotic atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti.
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Semiotika modern mempunyai dua pakar terkenal yaitu Charles Shander Peirce dan Ferdinan de Saussure. Peirce mengusulkan kata semiotika yang sebenarnya telah digunakan oleh ahli filsafat jerman Lambert pada abad (XVII) sebagai sinonim kata logika. Dengan mengembangkan teori semiotika, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Ia memberi tempat penting pada tanda-tanda lingusitik, meskipun bukan hal yang utama. Sebaliknya Sausure mengembangkan dasar-dasar teori lingusitik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda, dalam hal ini ia mengusulkan kata semiologi. Sausure menguraikan secara panjang lebar bahwa bahasa adalah system tanda dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: significant atau penanda dan signife atau petanda. Sebenarnya tidak ada perbedaan penting antara kata semiotika dan semiologi hanya saja keduanya mengacu pada orientasi yang berbeda. Dalam puisi ‘Tapi”, akan dikaji beberapa aspek yang di antaranya adalah dari segi sintaksis, semantic, dan pragmatic yang ada di dalam puisi tersebut.
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padmu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
Sutardji Calzoum Bachri,
1981
ANALISIS TERHADAP PUISI “TAPI”
Analisis secara sintaksis bisa kita lakukan dengan menghubungkan tanda-tanda yang ada di dalam puisi. Berangkat dari mengkaji judul puisi yaitu kata “Tapi”, kita bisa tahu bahwa kata “tapi” merupakan salah satu koordinator hubungan perlawanan selain dari melainkan dan namun. Menurut Sintaksis karangan Vismaia S. Damaianti dan Nunung Sitaresmi, hubungan perlawanan adalah hubungan yang menyatakan bahwa apa yang dinyatakan dalam klausa pertama berlawanan dengan apa yang terdapat dalam klausa kedua. Selain itu, bila kita melihat dari segi sintaksis yang berupa analisis terhadap satuan-satuan linguistik yaitu analisis yang dapat mengacu pada tata bahasa baku atau pedoman ejaan, tentu ada masalah yang bisa kita angkat bahwa puisi tersebut hampir setiap barisnya tidak diawali oleh huruf kapital kecuali hanya pada judul saja dan puisi tersebut pun tidak diakhiri oleh titik layaknya ketetapan tanda baca dalam sebuah kalimat. Hanya ada tanda seru (!) pada kata wah! Di akhir puisi.
Bila kita perhatikan, setiap kalimat dalam puisi tersebut sangat berkesinambungan atau paralel. Bisa kita lihat dalam kalimat-kalimat yang tersurat sebelum kata “tapi” yaitu / aku bawakan bunga padamu /../aku bawakan resah padamu/../aku bawakan darahku padamu/../aku bawakan mimpiku padamu/../aku bawakan dukaku padamu/../aku bawakan mayatku padamu /../aku bawakan arwahku padamu/ semuanya diawali oleh kata “aku” yang merupakan subjek (S) dari sebuah kalimat. Kalimat-kalimat tersebut merupakan sebuah kalimat sempurna karena syarat dari kalimat semurna adalah sekurang-kurangya mengandung sebuah klausa. Kan kalimat tersebut jelas sebuah klausa karena setiap barisnya mengandung subjek (S) dan predikat (P). karena menurut konstruksi sintaksis, sebuak klausa harus mengadung unsure fungsional subjek dan predikat baik disertai objek, pelengkap, keterangan maupun tidak. Setiap baris dalam puisi tersebut terdapat kata “tapi” yang menyatakan penolakan akan apa yang diserahkan oleh si aku pada si kau. Jadi sudah jelas bahwa setiap puisi antara baris aku dan baris kau merupakan sebuah kalimat sempurna yang terdiri dari dua klausa karena ada partikel “tapi” sebagai konjungsi penghubung pertawanan antar klausa.
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
Dan bila kita sebariskan menjadi aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih. Kata “masih” dalam kalimat tadi mewakili setiap kalimat yang memang selalu diakhiri oleh ambiguitas.
Puisi tersebut menggambarkan sebuah pertentangan antara aku dan kau sehingga apa pun yang dibawa oleh aku selalu kandas dan terjatuh (tak bermakna) di mata kau seperti digambarkan dalam baris puisi yang anjlok ke bawah dan menjorok ke dalam. Selain itu, dengan adanya pemisahan antara baris aku dan kau seolah menggambarkan bahwa percakapan dalam puisi itu terjadi dialog antara dua orang, baik antara seorang Budak dengan Tuannya, maupun Hamba dengan Tuhannya. Hal itu menggambarkan bahwa seorang hamba dengan Tuhannya tidak akan pernah sejajar. Bila kita menganalisis dari segi semantiknya, jelas seorang hamba tidak mungkin membawa bunga pada Tuhannya seperti pada baris pertama puisi aku bawakan bunga padamu. Kata bunga, resah, darah, mimpi, arwah, mayat, dan duka merupakan makna konotasi karena sejatinya seorang hamba tidak akan membawa hal-hal demikian saat menghadap dengan penciptanya. Selain itu, kata bilang yang tertera dalam puisi merupakan makna konotasi karena Tuhan biasanya menggunakan kata “firman”.
Puisi ini pun menggunakan gaya bahasa yang salah satunya adalah hiperbola yaitu melebih-lebihkan. Bisa kita lihat dalam beberapa barisnya seperti aku bawakan mayatku padamu. Mana mungkin mayat kita sendiri bisa kita bawa sendiri kehadapn Tuhan kita. sungguh terlalu berlebihan. Begitupun terdapat ambiguitas dalam puisi ini seperti tapi kau bilang kalau. Kita tidak tahu “kalau” apa yang dikatakan oleh si kau. Untuk setiap kalimat yang dikembaliakan pada si aku, mengandung efony karena kombinasi “mu” yang terdapat pada kata “padamu” yaitu /m/ yang merupakan salah satu huruf efony yang dikombinasikan dengan huruf vocal /u/ menimbulkan suara merdu juga suram. Akan tetapi untuk kalimat pada bagian si kau, banyak mengandung kakofoni seperti pada kata masih, meski, dan hampir. Kata- kata itu terdengar berdesis di telinga dan parau sehingga kombinasi hurufnya tidak enak didengar.
Untuk analisis semantik yang berupa isotopi, dalam puisi “Tapi” karya Sutardji Calzoum Bachri ini kita bisa menyimpulkan tiga hal yaitu berupa isotopi manusi, isotopi kesakitan, dan isotopi usaha. Yang pertama untuk isotopi manusia, yaitu kata aku, kau, mayat, dan arwah. Untuk lebih jelasnya bisa kita rinci sebagai berikut ini. Kata aku dan kau merupakan kata ganti orang yaitu kata ganti orang pertama dan kata ganti orang ke dua. Namun kau dalam puisi ini tidak akan masuk pada isotopi manusia jika kita maknai sebagai Tuhan karena tak layak jika Tuhan kita masukan pada kategori isotopi manusia. Mayat adalah bentuk jasad dari sebuah makhluk yang lebih kita kenal sebagai jasad dari manusia yang telah meninggal dunia. Sekalipun semua makhluk yang meninggal jasadnya di sebut mayat, namun dalam puisi ini si aku adalah manusia jadi mayat ini tentu mayat dari manusia. Arwah adalah roh atau barupa banda abstrak yang lebih kita kenal sebagai jiwa dari sebuah mahluk yang salah satunya dimiliki oleh makhluk hidup berupa manusia. Kata “arwah” bisa kita masukan pada isotopi manusia karena arwah yang tertera dalam puisi adalah arwah yang dibawa oleh si aku yang notabene adalah manusia.
Isotopi kedua yaitu isotopi kesakitan. Isotopi kesakitan yang terdapat dalam puisi ini adalah resah dan duka. Kata resah adalah berupa sebuah perasaan galau atau gamang yang mendera hati manusia. Kata resah bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan karena resah itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena dibebani oleh perasaan ini. Duka, kata ini merupakan kebalikan dari kata “suka”. Duka adalah ekspresi kepedihan dan kemuraman yang dialami manusia seperti saat kehilangan. Dan kata ini bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan karena duka ini akan membuat hati orang yang mengalaminya terasa sakit dan sedih.
Isotopi yang ketiga yang terdapat dalam puisi tersebut adalah isotopi usaha. Beberapa kata yang bisa kita golongkan pada isotopi usaha adalah kata bawakan, bilang, dan datang. Bawakan merupakan kata kerja yaitu bawa yang berasal dari kata membawa yang mendapat imbukan –kan. Kata ini bisa kita golongkan pada isotopi usaha karena ini merupakan kata kerja. Kata bilang adalah kata yang biasanya dilakukan oleh lisan manusia dengan seperti kata berucap atau berbicara dan kata bilang pun masih kata kerja. Kata terakhira yaitau datang adalah kata kerja yang bisa dilakukan oleh manusia dan kata lainya adalah hadir atau tiba. Ini merupakan usaha untuk menuju suatu tempat.
Dengan menghubungkan antara tanda dengan penggunanya, kita bisa menyimpulkan aspek pragmatic yang terdapat dalam puisi tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Julia Kristeva bahwa arti sebuah puisi tidak terletak dari kata, seperti sesuatu yang dipikirkan atau dimaksudkan oleh pengarang, melainkan kata-kata itu menjadikan sebuah arti yang harus diusahakan dan diproduksi sendiri oleh pembaca. Bila terjadi perbedaan makna yang ditangkap oleh setiap pembaca, itu merupakan hal yang wajar.
Timbal balik yang ditimbulkan oleh puisi ini antara penulis dengan pembacanya yaitu penulis seolah ingin mengatakan dan member tahu pembaca bahwa kedudukan atau nilai manusia tidak akan pernah dilihat Tuhannya jika hanya menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki manusia tersebut. Dalam puisi ini menceritakan tentang si aku yang setiap kali datang pada si kau selalu saja ada kekurangan dalam pandangan si kau. Dari semua aspek yang telah kita teliti, kita bisa mengambil makna bahwa seorang manuasia aku janganlah merasa lebih besar atau hebat dari pada Tuhannya. Kata kau yang tidak diawali huruf kapital seperti layaknya huruf yang menggambarkan Tuhan, seolah meyakinkan dan memberitahu manusia bahwa Tuhan tidak mengajarkan manusia untuk sombong jadi “aku” tidak menggunakan huruf kapital agar tidak melebihi “kau” (Tuhan).
Nilai atau kedudukan manusia tidak akan pernah bisa menyamai Tuhannya. Nilai manusia dimata Tuhannya selalu saja rendah karena walau bagaimana pun manusia itu hanyalah makhluk dari salah satu makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Penulis ingin memberitahu lewat puisi ini dan menjelaskan pada kita bahwa hanya pada Tuhanlah manusia menumpahkan atau membawa semua yang ada dalam dirinya baik jasad yang berupa darah, mayat maupun arwah, juga segala rasa seperti resah dan duka seperti yang penulis sampaikan pada pembacanya lewat puisi tersebut. Timbal balik yang dihasilkan oleh puisi ini adalah timbale balik positif karena mengandung sebuah pelajaran yang berharga.
(1) Tugas kajian semiotic ini disusun sebagai pengganti Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Kajian Puisi Indonesia yang diampu oleh Drs. Ma’mur Sadie, M. Pd dan Rudi A. Nugroho, S. Pd
(2) Penulis adalah mahasiswa prodi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI angkatan 2009 dengan NIM 0902515
Tidak ada komentar:
Posting Komentar