BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam pembelajaran di sekolah selama ini, siswa hanya dibekali dengan pengetahuan tentang karya sastra tanpa dipelajari cara mengapresiasinya. Sedangkan cara yang efektif dalam pembelajaran sastra, bukan hanya teori sastra yang harus dipelajari, tapi juga bagaimana cara mengapresiasinya dengan cara memainkan atau memerankan karya sastra tersebut juga bisa pula dengan cara menonton pagelaran-pagelaran.
Maka, makalah ini disusun dalam metode pembelajaran karya sastra agar siswa lebih mudah untuk memahami karya sastra tersebut. Siswa tidak akan bosan dengan pembelajaran yang hanya mengandalkan pendalaman teori tanpa memahami cara mengapresiasi karya sastra.
- Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk menambah pengetahuan jenis karya sastra yang khususnya drama
2. Untuk lebih megetahui bagaimana cara mengapresiasai drama
3. Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia
- Rumusan Masalah
1. Apa saja yang dapat diapresiasi dari sebuah drama?
2. Bagaimana cara mementaskan sebuah drama?
3. Siapa saja yang berperan dalam pementasan sebuah drama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Drama “ Layangan Salaka Domas”
1. Ikhtisar
Padmawati, istri pertama dari Prabu Siliwangi raja kerajaan pajajaran di tatar Sunda, sering didatangi mimpi yang sama yaitu tentang negeri Pajajaran yang akan hancur akibat dari perang saudara yang memperebutkan kekuasaan. Kepanikan melanda seluruh istana. Mimpi itu pun turut membuat sang raja kalangkabut karena Padmawati bersikukuh mendesak raja agar mencari sebuah pusaka guna menyelamatkan negerinya itu dari kehancuran. Pusaka itu bernama “Layangan Salaka Domas”. Maka, diutuslah putranya yang bernama Mundinglaya dan cucunya Suntenjaya untuk mencari pusaka tersebut di tempat yang bernama sajabaning langit.
Halangan dan rintangan kerap kali di temui selama perjalanan mencari pusaka Layangan salaka Domas itu. Konon pusaka itu di jaga oleh tujuh guriang atau yang lebih dikenal dengan sebutan guriang tujuh. Dan dua kesatria itu harus mengalahkan mereka.
Dan jauh di suatu tempat, Dewi Asri kekasih Mundinglaya sibuk menanti kekasihnya kembali dari pengembaraan dalam gundah gulana. Ternyata yang kembali dari pengembaraan itu adalah Suntenjaya yang pulang dengan membawa sebuah layangan emas yang di akuinya sebagai pusaka Layangan Salaka Domas. Karena Suntenjaya yang berhasil membawa pusaka itu, maka menikahlah Dewi Asri dengannya. Dewi Asri tetap harus menikah dengan Suntenjaya sekalipun hatinya tetap setia pada Mundinglaya karena sesuai perjanjian, yang menjadi suaminya adalah orang yang berhasil membawa Pusaka Layangan Salaka Domas. Sedangkan Mundinglaya yang diberitakan telah meninggal dalam pengembaraan ternyata masih hidup karena ditolong oleh siluman yang ada di sajabaninglangit.
Kemudian pulanglah Mundinglaya ke kerajaannya yang ternyata telah dipimpin oleh Suntenjaya. Ia menjelaskan bahwa pusaka yang dibawa oleh Suntenjaya adalah palsu. Dan pusaka yang sebenarnya adalah tidak berwujud alias abstrak. Tapi tak ada yang mempercayainya. Bahkan yang tidak percaya kalau Mundinglaya masih hidup dan menganggap kalu yang hadir itu adalah orang yang mengaku-ngaku Mundinglaya. Dewi asri ternyata masih menyimpan rasa cintanya pada mundinglaya dan itu semua membuat Suntenjaya murka. Demi menjaga keutuhan rumahtangga Dewi Asri dan juga menghindari perkelahian, Mundinglaya pun pergi dari kerajaan setelah diusir oleh Suntenjaya, sadaranya sendiri yang tega menghianatinay dan menikamnya dari belakang. Tapi rupanya kepergian Mundinglaya tidak membuat Suntenjaya tenang, malah itu semua semakin membuat suasana hati dan pikiran raja muda itu kacau.
2. Alur dan Pengaluran
Alur dalam novel ini adalah alur maju.
Ø Pengaluran
- Padmawati bermimpi pajajaran hancur
- Padmawati mendesak raja mencari pusaka salaka Domas
- Suntenjaya meminta raja membebaskan Mundinglaya dari penjara
- Guru Gantangan menemui Mundinglaya di penjara dan mengatakan bahwa Mundinglaya bukan putranya
- Raja menyuruh Suntenjaya dan Mundinglaya mencari pusaka
- Suntenjaya dan Mundinglaya mengembara mencari pusaka
- Suntenjaya menyuruh Mundinglaya melawan Jonggrang kalapitung
- Sunren jaya kembali ke kerajaan dengan membawa pusaka palsu
- Suntenjaya berbohong bahwa Mundinglaya tewas
- Suntenjaya menikahi Dewi Asri
- Prabu Siliwangi lengser dan digantikan oleh Suntenjaya
- Mundinglaya bangun dari pingsan karena ditolong siluman
- Siluman menjelaskan bahwa pusaka itu ada dalam hati dan menyuruh Mundinglaya kembali ke kerajaan
- Mundinglaya kembali ke kerajaan dan bertemu Suntenjaya
- Suntenjaya mengusir Mundinglaya karena cemburu merasa Dewi Asri masih mencintai Mundinglaya
- Mundinglaya pergi kembali dari kerajaan
3. Tokoh dan Penokohan
Mundinglaya. Adalah seorang pemuda, putra dari Prabu Siliwangi dan Nyai Padmawati. Ia berparas rupawan, tegar, dan sangat patuh pada orangtuanya (Rajanya). Ia selalu menginginkan kedamaian untuk negerinya yaitu Pajajaran dan ia rela berkorban demi tidak terjadinya pertumpahan darah. Ia pun sangat mencintai Dewi Asri.
Suntenjaya. Ia adalah putra dari Guru Gantangan sekaligus cucu dari Prabu Siliwangi. Suntenjaya memiliki sifat baik hati namun karena cintanya pada Dewi Asri membuatnya menjadi orang yang licik dan menghalalkan segala cara demi mendapatkan Dewi Asri.
Dewi Asri. Seorang wanita yang sangat cantik dan baik budi pekertinya. Ia mencintai Mundinglaya namun ia menikah dengan Suntenjaya setelah dikabarkan bahwa Mundinglaya telah meninggal. Dewi Asri pun orang yang sangat patuh pada titah suaminya dan mencintai kedamaian.
Prabu Siliwangi. Raja kerajaan Pajajaran di tatar Sunda. Ia raja yang arif dan bijaksana, memiliki dua istri yaitu Nyai Padmawati dan Nyai Tejamantri. Prabu Siliwangi selalu menginginkan kedamaian untuk Negeri yang dipimpinnya.
Padmawati. Istri dari pertama dari Prabu Siliwangi sekaligus ibu dari Mundinglaya. Ia amat mencintai suaminya juga rakyatnya. Ia patuh pada suami, baik hati, dan cinta damai.
Tejamantri. Merupakan istri kedua dari Prabu Siliwangi dan ia pun taat pada suami serta menginginkan kedamaian untuk negerinya.
Guru Gantangan. Adalah anak sulung dari Raja Pajajaran namun dia dinggap ayah oleh Mundinglaya namun sesungguhnya ia adalah kakak (tiri) dari beda ibu. Guru Gantangan adalah ayah Suntenjaya, ia pongah, licik, dan iri pada ketampanan Mundinglaya.
Panglima. Mereka adalah abdi kerajaan yang selalu mengawal raja kemanapun raja pergi dan akan bdiri di barisan paling depan saat kerajaan mengalami masalah. Mereka patuh dan taat pada aturan dan titah Raja mereka.
Guriang. Guriang yang berjumlah tujuh orang atau lebih dikenal dengan guriang tujuh adalah penjaga dari pusaka layangan Salaka domas di Sajabaning langit.
4. Tema
Tema yang di angkat dalam novel ini adalah perjuangan dan pengabdian pada negeri yang di cintai.
5. Tipe
Tipe drama ini adalah tipe drama patriotic karena mengisahkan tentang jiwa besar seorang kesatria yang rela berkoran demi memperjuangkan kedamaian.
6. Latar
Latar tempat yang ada dalam drama lebih banyak di Kerajaan,sekalipun ada sedikit latar penjara, jalan, dan sajabaning langit yang disinggahi oleh Mundinglaya jug ataman tempat duduk merenung Dewi Asri yang menanti Mundinglaya kembali. Untuk latar waktu adalah waktu lampau yaitu pada masa Kerajaan Pajajaran dan ada juga waktu ketika Mundinglaya setengah meninggal.
7. Nilai dan Amanat
Nilai dan amanat yang terkandung dalam drama ini adalah bahwa kita selaku manusia yang hidup di dunia ini harus tetap memperjuangkan kedamaian untuk negeri kita. Puasaka Layangan Salaka Domas ada pada setiap hati manusia yang bersih, sehingga bila ada iri, dengki, dan sifat buruk lainnya akan menutupi bersinarnya Pusaka itu dalam diri manusia.
Sebagai sesama saudara hendaknya tidak ada perselisihan, apalagi sampai menikam dari belakang. Semua itu akan membuat kita menuai balasan pada akhirnya karena kehidupan ini akan selalu ada ganjarannya.
8. Make up
Make up yang digunakan oleh para pemain mungkin memang sengaja di buat natural, tapi untuk make up Nyai Padmawati seolah tampak sangat dibuat-buat, goresan-goresan yg seolah menggambarkan penuaan malah seperti make up yang coreng-moreng.
9. Lighting
Lighting atau pencahayaan untuk panggung memang sudah bagus, ada kesan suram yang menggambarkan suasana pada zaman itu yang memang belum terdapat lampu-lampu seperti saat ini. Lampu yang menyoroti tiap pemain pun sangat tepat mengikuti hadir dan perginya pemain.
10. Panggung dan Properti
Suasana panggung dan properti sudah cukup menggambarkan suasana kerajaan yaitu dengan adanya beberapa property seperti singgasana dan untuk penjara nampak seperti nyata dengan adanya tempat makan dan minum berserakan dan kaki pemain yang memakai gembok beban bola besi juga tumpukan jerami.
Suasana panggung yang dipenuhi oleh layangan memang mendukung cerita dalam drama ini, tapi hakikat dalam cerita dijelaskan bahwa pusaka Layangan Salaka Domas itu adalah bukan berbentuk sebuah layangan tapi sebuah abstrak yaitu keyakinan hati setiap diri manusia. Jadi mengapa harus dipenuhi properti layangan? Itu semua malah membuat penonton meyakini bahwa pusaka Layangan Salaka Domas itu memang sebuah layangan.
11. Acting Pelaku dan Adegan
Acting setiap pelaku sudah tampak maksimal, tapi pada setiap perkataan Guru Gantangan yang selalu diawali oleh kata “well..well..well” seperti dalam adegan saat berdialog dengan Mundinglaya ataupun saat berdialog dengan pemeran lain memang awalnya sangat menarik. Namun karena pengucapannya terlalu sering membuat kata “well..well..well” itu menjadi hilang kesan menariknya.
Pada adegan belah duren bukan menampakan bahwa Prabu Siliwangi utu memiliki dua istri, tapi malah menampakan bahwa yang ada di sana itu adalah dua pasangan atau dua laki-laki yang berbeda karena adegannya yang bersamaan. Ketika Suntenjaya dan Mundinglaya melakukan perjalanan, disana Suntenjaya itu seperti laki-laki yang lemah dan mudah menyerah seperti yang tampak kelelahan saat menyuruh Mundinglaya pergi melawan Jonggrang Kalapitung. Padahal seperti yang dikatakan oleh Dewi Asri bahwa keduanya itu saa-sama gagah.
Banyak adegan-adegan yang tidak ada dalam cerita Layangan salaka Domas masuk pada cerita. Contohnya pada adegan Asep yang berbicara pada pemain drama Layangan Salaka Domas membuat drama seperti ada jeda atau pause. Adegan rakyat yang berbaur dengan pemain memang tidak diduga-duga, sehingga menjadi kejutan untuk para penonton. Adapun adegan Suntenjaya yang setelah menjadi raja selalu menyampirkan layangan emas di punggungnya malah membuat Suntenjaya seperti masih kanak-kanak. Pusaka dalam kerajaan biasanya di simpan di tempat rahasia dan tak jarang di kamar tidur raja. Bukan bersrti harus selalu disampirkan di punggung seperti anak yang suka bermain layangan.
12. Mimic
Mimic muka dari Suntenjaya bukan menggambarkan kegagahan dan kelicikan, tapi malah menggambarkan kesan laki-laki lembut dan lemah. Selain itu mimic dari Guru Gantangan sangat menampakan kesan lucu, dan humoris. Sama dengan mimic yang ada pada pengawal.
13. Busana
Busana yang dikenakan oleh tiap pemain memang sudah tampak serasi. Tapi yang dikenakan oleh Guru Gantangan yang mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa budaya barat turut meracuni pribumi terlihat sangat mencolok.
14. Siapa Saja Yang Terlibat dalam Pementasan Drama?
Ternyata yang terlibat dalam pementasan drama itu bukan hanya pemain drama saja. Akan tetapi juga meliputi kru-kru acara seperti tim produksi, tim artistic yang tentu di dalamnya ada sutradara, tata kostun, dan tim kreatif, dan juga MC dan tim dekorasi. Tak terkecuali penonton karena penontonlah yang menentukan pementasa tersebut sukses atau tidak.
B. Fungsi dan Pengalaman Mengapresiasi
- Fungsi estetis sastra : ketika menonton drama ini, penonton disuguhkan dengan adegan-adegan yang enakjubkan dan dialog-dialog yang memukau.
- Fungsi etis dan moral : mengajarkan kita untuk menjaga tali persaudaraan dan peduli terhadap rakyat yang dipimpin.
- Fungsi informatif : pengetahuan yang dapat diambil dari drama ini adalah kerasnya perjuangan mempertahankan kedamaian dan pengabdian pada negri.
- Fungsi penyadaran : menyadarkan kita akan pentingnya memperjuangkan kedamaian dan menjaga kepercayaan terhadap rakyat sendiri.
- Pengalaman humanistik : drama ini menceritakan kisah perjuangan seorang kesatria yang dihianati saudaranya sendiri.
- Pengalaman etis dan moral : ada tokoh yang lebih mengutamakan keinginan hatinya atau nafsunya sendiri sehingga tega menikam saudaranya sendiri. Seperti dalam drama adalah Suntenjaya yang menghianati Mundinglaya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Di dalam karya sastra, terdapat nilai-nilai yang dapat kita rasakan. Selain dalam dramapun seperti halnya dalam karya sastra lain, terkandung juga fungsi-fungsi yang dan pengalaman mengapresiasi kitapun bisa mengapresiasi dari segi panggung atau apapun yang nampak bagi kita.
Menonton sebuah drama bukan hanya untuk menikmati atau menjadikannya sebagai hiburan, tapi juga untuk dihayati dan di ambil pelajaran dengan cara mengapresiasinya.
B. Saran
Setelah membahas drama di atas, hendaknya kita lebih memperkaya diri dengan menonton lebih banyak pertunjukan agar apa yang menjadi kekurangan di suatu drama dapan menjadi koreksian pada drama yang lain. Akan tetapi lebih baiknya kitapun ikut terlibat dalam sebuah pementasan agar kita lebih faham selukbeluknya.
Dalam proses pembelajaran, siswa hendaknya lebih diperbanyak dalam mengapresiasi karya sastra. Selama ini dalam pendidikan di Indonesia, siswa hanya mempelajari teori tentang sastra, bukan dalam bentuk prakteknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar